Sejarah mempertontonkan bahwa setelah empirisme yang dimulai oleh Ragor bacon dan Robert Grosseteste dari oxford menjadi ikon kuat di eropa pada awal abad 12 dan popular di tangan Francis bacon melalui karyanya yang terkenal Novum Organum dan New Atlantis, genderang revolui ilmiah dan spesialisasi ilmu menjadi tren ilmiah sekaligus lokomotif yang membawa gerbong perubahan besar bagi kebudayaan barat. Setelah itu, yang terjadi adalah pemisahan antara ilmu-ilmu alam yang berbasis metode eksperimental dengan filsafat alam yang berbasis metode rasional-spekulatif.
Namun sebenarnya, godam filosofis terkeras dalam soal dualisme ilmu dan agama ini diayunkan oleh Descartes. Melaui konsep cogito ergo sum ( saya berpikir maka saya ada ), Descartes membelah realitas kehidupan dalam dualisme menjadi alam fisikal dan akal budi yang terpisah sama sekali. Ia menganggap alam fisikal sebagai sebuah mesin yang independen dan otonom yang bebas dari makna transenden ilahiyah serta murni materialistic.
Menurutnya, benda fisikal berada dalam wilayah hukum fisika, deterministic, sementara akal berada pada wilayah lain yang berbeda sekali. Terpisah dan tidak ada kontak antara keduanya. Benda fisik, menurut Descartes tidak lebih dari partikel dengan ukuran dan bentuk yang bergerak sesuai dengan hukum mekanik, yaitu sesuatu memiliki massa dan menempati ruang. Dengan menyatakan bahwa alam fisikal dapat diketahui dengan geometri dan hukum mekanik yang mutlak, maka ia telah menyiapkan landasan bagi ilmu fisika matematika modern. Artinya setelah tuhan menciptakan alam, seperti pembuat arloji, peranNya usai. Descartes telah menyingkirkan peran Tuhan di alam, lalu menggantikannya dengan hukum geometri-mekanik.
Darwin, Galileo dan Newton adalah raksasa-raksasa ilmu yang membuat pandangan Tuhan sebagai the watchmaker semakin nyata. Dengan konsep acak ( kebetulan ), perjuangan dan seleksi alam. Darwin melalui the origin of spesies memaklumatkan suatu bahwa makhluk hidup tercipta tanpa tujuan. Ia membuat penggambaran realitas fisika-bilogis yang menihilkan peran tuhan.
Serupa dengan Darwin, apa yang dibentangkan Galileo dan newton tidak lebih dari penguatan Descartes tentang dunia yang diatur secara reduksionis-mekanistik. Perputaran planet dan gerak benda terbuktikan tunduk oleh hukum mekanik gravitasi yang materialistic.
Itulah tren yang terjadi. Raksasa ilmu pengtahuan, tiang besar penyangga zaman modern itu menyihir para ahli pikir eropa dengan 3 mantra utamanya (1) mtode analitis, (2)hukum kausalitas dan (3)reduksionisme-mekanik-deterministik
Sesuai dengan model berpikir analitis, alam dipandang secara struktur analitis melalui bagian-bagiannya. Segala akibat yang muncul dalam setiap fenomena alam dilacak penyebabnya ke dalam sebab-sebab yang ada dalam bagian-bagian benda itu. Cara pandang ini mirip kerja seorang tukang yang tengah memperbaiki arloji, seperti montir mobil yang memperbaiki mesin atau dokter yang mendaignosis penyakit pasiennya.
Newton memperkenalkan teori gravitasi untuk menjelaskan secara matematis gerak disebabkan tarikan gaya gravitasi. Besarnya gaya gravitasi yang timbul ( dari interaksi dua buah benda ) dapat dihitung secara akurat termasuk juga kecepatan benda yang bergerak karenanya. Secara filosofis, makin diyakini bahwa akibat-akibat ( misalnya : kecepatan ) terjadi karena sebab-sebab tertentu ( misalnya : gaya tarik gravitasi antarbenda ). Dengan mengubah besarnya ( magninute ) sebab-sebab, maka akibat-akibat yang timbul pun berubah. Perubahan ini dapat diramalkan. Pola berpkir dan ekspeimen newton sangat menyakinkan untuk menunjukkan berlakunya sebab-akibat ( kausalitas ).
Newton telah melukis jagad raya dalam kanvas realitas sebagai sebuah mesin yang bekerja secara deterministic berbasis kausalitas gerak. Dengan mengikuti reduksionime Descartes, newton mereduksi fenomena alam sebatas wilayah fisika-mekanik. Perubahan cuaca panas-dingin adalah karena perubahan posisi matahari, pasang surut air laut terjadi bersamaan dengan perubahan posisi bulan, serta berbagai fenomena alam lain direduksi sebab-sebabnya melalui mekanika.
Akibat tragisnya, tempat Tuhan dalam penyelenggaraan alam hilang. Tuhan tidak lagi memiliki andil dalam fenomena alam setelah saat pertama Dia menciptakannya. Tuhan dianggap sudah tidak diperlukan lagi. Peran tuhan telah usai. Persis seperti pembuat arloji yang kehilangan kuasa setelah arloji dapat bergerak secara otomatis.
Namun perubahan yang mengejutkan terjadi pada paruh awal abad ke-20. Fisika modern khususnya teori kuantum justru membawa pandangan-pandangan baru yang meruntuhkan gambaran realitas yang dilukiskan newton. Paling tidak konsekuensi mencengangkan yang dihembuskan fisika modern adalah runtuhnya pandangan determinisme kausalistik melalui : (1) prinsip ketidak pastian, (2) dualisme partikel dan gelombang, serta (3) kekekalan materi dan energy.
Max planck dan ilmuwan kelompok Copenhagen lainnya telah mengenalkan cara pandang baru terhadap realitas. Cahaya yang semula berdasarkan fisika klasik dipandang sebagai gelombang, melalui fisika modern dimengerti memiliki sifat pertikel. Partikel ( materi ) biasa mempunyai sifat gelombang dan sebaliknya, gelombang dapat pula memilki sifat-sifat partikel, bergantung pada cara pengamatan fisikawan-subjektifitas fisika modern.
Realitas berubah bersama perubahan cara pandang, kerangka teori atau cara kita mendeskripsikannya. Maka fakta ini seolah mengamini Thomas Kuhn dalam The Structure Of Scientific Revolutions bahwa teori dan data dalam ilmu pengetahuan bergantung pada paradigma yaitu seperangkat pra anggapan konseptual, metafisik dan metodologis dalam tradisi kerja ilmiah.
Melalui fisika modern, peluang penjelasan bagi mukjizat, kebebasan kehendak, dan peran ilahi dalam alam menjadi terbuka kembali. Dalam bahasa teologis, fisika modern tetap membuka ruang bagi tuhan untuk menunjukkan kemukjizatannya di alam.
Dalam pandangan islam antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu empiris memang berbeda. Secara ontologisme, objek kajian ilmu agama adalah risalah kenabian ( ayat kauliyah ), sedang ilmu empiris adalah manusia dan alam ( ayat kauniyah ). Secara epistemologis, basis ilmu-ilmu agama adalah metode tekstual, sementara untuk ilmu eksakta adalah metode rasional-eksperimental. Hanya keyakinan bahwa sumber ilmu itu satu baik ayat qauliyah maupun ayat kauniyah yang datangnya dari Allah SWT. Dan mesti berujung pada pencerahan dan pengalaman sebagai bukti perilaku hamba yang saleh, maka ilmu agama dan ilmu empiris mesti dipandang sebagai suatu yang padu, tanpa pertentangan dan dikotomi.
2. Tipologi Ilmu dan Agama
Selain mengetahui pandangan antara ilmu dan agama dari konteks sejarah maka kali ini kami akan melihat hubungan antara agama dan ilmu. Menurut J.F. Haught dalam Sciencce Dan Religion : From Conflict To Conversation, pola konflik seperti itu bukanlah satu-satunya bentuk hubungan ilmu dan agama. Haught membagi empat tipologi hubungan ilmu pengetahuan dan agama, yaitu konflik, kontras, kontak dan konfirmasi.
Pendekatan konflik dimaksudkan dengan suatu keyakinan bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan dan agama tidak dapat dirujukan. Pendekatan kontras adalah suatu pernyataan bahwa tidak ada pertentangan yang sungguh-sungguh antara agama dan ilmu pengetahuan karena agama dan ilmu pengetahuan memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda. Pendekatan kontak adalah suatu upaya dialog, interaksi, dan kemungkinan adanya penyesuaian antar ilmu pengetahuan dan agama, terutama mengupayakan cara-cara bagaimana ilmu pengetahuan ikut mempengaruhi pemahaman relijius dan teologis. Pendekatan konfirmasi adalah suatu perspektif yang lebih tenang, tetapi sangat penting. Perspektif ini menyoroti cara-cara agama ( pada tataran yang mendalam ), mendukung, dan menghidupkan segala kegiatan ilmiah.
Sebenarnya model berpikir Haught tidak terlalu baru. Ian barbour guru besar fisika dan teologi pada Carleton college AS telah mengawali perumusan tipologi hubungan ilmu pengetahuan dan agama. Barbour membuat empat tipologi hubungan ilmu pengetahuan dan agama yaitu dengan pendekatan konflik, independensi, dialog dan integrasi.
3. Albert Enstein
Albert Einstein (14 Maret 1879–18 April 1955) adalah seorang ilmuwan fisika teoretis yang dipandang luas sebagai ilmuwan terbesar dalam abad ke-20. Dia mengemukakan teori relativitas dan juga banyak menyumbang bagi pengembangan mekanika kuantum, mekanika statistik, dan kosmologi. Dia dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Fisika pada tahun 1921 untuk penjelasannya tentang efek fotoelektrik dan "pengabdiannya bagi Fisika Teoretis".
Einstein dilahirkan di Ulm di Württemberg, Jerman; sekitar 100 km sebelah timur Stuttgart. Bapaknya bernama Hermann Einstein, seorang penjual ranjang bulu yang kemudian menjalani pekerjaan elektrokimia, dan ibunya bernama Pauline. Mereka menikah di Stuttgart-Bad Cannstatt. Keluarga mereka keturunan Yahudi, Albert disekolahkan di sekolah Katholik
Albert menghabiskan masa kuliahnya di ETH (Eidgenoessische Technische Hochscule). Pada usia 21 tahun Albert dinyatakan lulus. Setelah lulus, Albert berusaha melamar pekerjaan sebagai asisten dosen, tetapi ditolak. Akhirnya Albert mendapat pekerjaan sementara sebagai guru di SMA. Kemudian dia mendapat pekerjaan di kantor paten di kota Bern. Selama masa itu Albert tetap mengembangkan ilmu fisikanya..Enstein meninggal pada tanggal 18 april 1955 di Princeton.
4. Pandangan Enstein Mengenai Ilmu, Agama Dan Ketuhanan
Enstein memiliki pandangan yang cukup unik terhadap agama dan ilmu pengetahuan serta ide tuhan. Menurutnya ilmu merupakan pemikiran metodik yang diarahkan pada pencarian hubungan-hubungan regulative dalam pengalaman- pengalaman sensual (yang berhubungan dengan alat penginderaan )
Sedangkan agama menurutnya merupakan hal yang berhubungan dengan tujuan-tujuan dan evaluasi-evaluasi yang, yang merupakan pondasi emosi, pikiran dan tindakan manusia. Agama terkait dengan sikap manusia terhadap alam dengan penetapan idealisme kehidupan individu dan komunal dan dengan timbale balik antarmanusia.
Menurut Enstein, jika seseorang memahami hakikat agama dan ilmu menurut definisi tersebut, konfllik antara ilmu dan agama dapat dihindarkan karena ilmu hanya dapat memastikan “ Apa “, bukan “ Apa seharusnya “, sementara di luar wilayah ilmu tetap perlu pertimbangan-pertimbangan nilai dari agama. Agama terkait dengan evaluasi pemikiran dan tindakan manusia. Sikap enstein terhadap ilmu dan agama lebih bersifat dialogis, sama sekali tidak mengambil bentuk konflik, kontras atau kontradiktif.
Namun keyakinan Enstein terhadap agama sebenarnya cukup unik. Ia tidak beriman kepada Tuhan sebagaimana kaum beriman pada umumnya. Pandangan Enstein tentang Tuhan lebih unik bahkan secara tegas ia menyatakan diri sebagai seorang agnostic, yakni orang yang menyakini Tuhan hanya berperan pada saat penciptaan, setelah itu menyerahkan urusan dunia pada hukum-hukum alam mekanistik. Tuhan diibaratkan seperti seorang pembuat arloji.
Jika ada sesuatu dalam diri saya yang dapat disebut religious, ini adalah penghormatan yang tidak terhingga terhadap struktur alam yang sebegitu jauh diungkapkan ilmu. Saya tidak dapat mengerti suatu Tuhan yang bersifat personal yaitu Tuhan yang memberi pahala dan menghukum makhluk-makhluknya atau mempunyai kehendak di dalam diri kita, yang secara langsung mempengaruhi tindakan-tindakan manusia atau secara langsung memberikan pertimbangan kepada makhluk-makhluk mengenai kreasi yang dimiliki-Nya.
Para guru agama seharusnya membuang doktrin Tuhan yang bersifat personal sebagai sumber ketakutan dan harapan manusia yang pada masa lalu telah memberikan kekuasaan yang luas kepada para imam. Mereka harus bekerja keras memanfaatkan kekuatan-kekuatan dalam diri mereka untuk mampu menanamkan kebaikan- kebenaran, dan keindahan kepada umat manusia.
Ia mengakui urgensi agama bagi kehidupan, pentingnya agama mendampingi ilmu pengetahuan dalam keseharian manusia. Bahkan jargonnya yang terkenal “ Ilmu Tanpa Agama Pincang Dan Agama Tanpa Ilmu Buta”. Sebenarnya Enstein menolak agama-agama besar yang ada yang menurutnya menganut doktrin primitive. Eintein menolak doktrin harapan dan hukuman, pahala dan dosa, yang menggerakkan manusia dengan energy “ ketakutan akan ancaman neraka dan “ pengharapan akan surga setelah mati.
Kitab injil yahudi sangat menggambarkan perkembangan agama ketakutan ( primitive ) menjadi agama moral. Perkembangan dari agama ketakutan menjadi agama moral adalah langkah besar dalam kehidupan masyarakat manusia. Agama-agama primitif secara keseluruhan di dasarkan pada rasa takut, sementara agama-agama orang beradab ( moral ) murni mengajarkan moralitas. Selain kedua agama tersebut terdapat satu jenis agama lagi yaitu agama kosmis.
Bagi Enstein agama yang ideal adalah agama kosmis yang sarat moralitas dan tidak bersifat pribadi. Reliogitas Enstein adalah kekaguman akan pesona keselarasan hukum alam yang mengungkap suatu kecerdasan unggul tertentu, susunan alam yang menakjubkan baik di jagad raya maupun dalam pemikiran manusia.
Saya menyakini bahwa perasaan religious kosmis merupakan motif paling kuat dan paling mulia bagi riset ilmiah. Hanya orang yang terlibat dalam usaha-usaha tak terbatas inilah yang mampu menyerap kekuatan emosi yang memancar dari karya ilmiah dari jarak jauh karena kekuatan emosi tersebut dapat menembus realitas kehidupan. Inilah rasionalitas alam semesta yang rindu untuk dipahami.
Ilmu tidak hanya memurnikan agama dari sampah antropomorfisnya tetapi juga berkontribusi bagi spiritualisasi nilai agama atas pemahaman kita terhadap kehidupan. Saya tidak percaya bahwa Tuhan memilih untuk bermain dadu dengan alam.
Saya berpikir bahwa ada banyak hal di alam semesta ini yang tidak dapat kita rasakan dan tembus seperti mengalami hal-hal yang indah dalam kehidupan. Dengan misteri-misteri ini saya menganggap diri saya religious. Agama dan ilmu berjalan bergandengan tangan . masing-maing mempunyai tempat , tetapi masing-masing harus diturunkan pada alamnya. Dengan demikian berarti bahwa ilmu dan agama tidaklah harus bertentangan namun keduanya harus saling melengkapi dalam kehidupan manusia.
No comments:
Post a Comment